Petunjuk Rasulullah ketika hujan

(Abujibriel.com) – Qadarallah, musim penghujan sudah kembali hadir mewarnai langit sekitar kita di beberapa pekan terakhir  ini. Curah hujan mulai dari intensitas ringan hingga deras, sudah rutin mengguyur lahan-lahan kering yang lama gersang dan kering-kerontang. Sebagian manusia merasa bersuka-cita dengan datangnya musim ini, namun juga tak jarang banyak yang mulai berkeluh-kesah karena mungkin tak sesuai dan berseberangan dengan hajatnya.

Perihal hujan itu sendiri, Allah Ta’ala telah banyak menceritakannya di beberapa firman-Nya, diantaranya yaitu,

Artinya, “Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.” (QS. an-Nur, 24:43)

Atau firman-Nya,

Artinya, “Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, Maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. seperti Itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, Mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.” (QS. al-A’raaf, 7:57)

Begitulah Allah Ta’ala dalam menyampaikan ilmunya kepada manusia untuk pengetahuan bagi keberlangsungan roda kehidupan makhluk-Nya dan juga dijadikan sebagai ibroh agar menjadi pelajaran yang bisa diambil hikmahnya. Seperti firman-Nya,

Artinya, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih-bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa-apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. al-Baqarah, 2:164)

Lalu amalan apa sajakah yang telah dicontohkan Rasulullah saw dalam menghadapi salah-satu karunia-Nya yang mengagumkan berupa hujan tersebut? Berikut beberapa diantaranya:

1. Bersyukur kepada Allah Ta’ala

Tatkala hujan turun di sekitar kita, maka Rasulullah mengajarkan sebuah do’a yang dahulu beliau saw biasa ucapkan seperti pada hadits yang diceritakan oleh ‘Aisyah ra berikut,

إِنَّ النَّبِىَّ كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ: اَللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا.

Artinya, ”Nabi saw ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, Allahumma shoyyiban nafi’an” (Ya Allah, turunkanlah kepada kami hujan yang bermanfaat).” (HR. Bukhari, Ahmad, dan An-Nasa’i)

Ungkapan syukur yang dipanjatkan Rasulullah merupakan prilaku yang selayaknya dipenuhi seorang manusia terhadap Rabb-nya. Karunia itu berlaku berkesinambungan dan saling bertaut antara satu dan lainnya hingga mendatangkan karunia-karunia yang lain. Perhatikan firman-Nya,

Artinya, “Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan. Maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang korma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.” (QS. al-An’am, 6:99)

Oleh sebab itu, betapa mulia sikap yang dicontohkan oleh Rasulullah kepada umatnya berupa perintah untuk mensyukuri turunnya hujan. Rasa syukur yang timbul dikarenakan Allah Ta’ala telah berkenan untuk melimpahkan rezeki berupa hujan yang mengandung begitu banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan, dan tetumbuhan. Al-Khottobi mengatakan,” Air hujan yang mengalir adalah suatu karunia.” (Syarh AlBukhari, Ibnu Baththol, 5/18, Asy Syamilah).

Oleh sebab itu, seyogyanyalah manusia memperbanyak rasa syukur, sehingga insyaa Allah Dia akan menambahkan nikmat-Nya kepada manusia itu sendiri. Firman-Nya,

Artinya, “  Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim, 14: 7)

2. Banyak-banyak berdo’a

Sahl bin Sa’d meriwayatkan bahwa Rasulullah saw menganjurkan umatnya untuk berdo’a di waktu-waktu yang mustajab, sabdanya,

ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَ تَحْتَ المَطَرِ.

Artinya, “Dua do’a yang tidak akan ditolak, yaitu do’a ketika adzan dan do’a ketika turunnya hujan.(HR. Hakim dan Baihaqi)

Sementara itu Ibnu Qudamah mengatakan bahwa terdapat tiga waktu mustajab untuk memanjatkan do’a, seperti sabdanya saw,

اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ.

Artinya, “Carilah olehmu do’a yang mustajab pada tiga keadaan, yaitu ketika bertemunya dua pasukan, saat menjelang sholat dilaksanakan, dan saat hujan turun.”(HR. Baihaqi dan Imam Syafi’i

3. Mengambil ibroh dari turunnya hujan

Titik-titik air yang diturunkan Allah Ta’ala mengandung begitu banyak manfaat bagi setiap makhluk hidup. Perhatikanlah tanah-tanah tandus yang hampir-hampir menimbulkan kegoncangan bagi alam disekitarnya, lalu lihatlah perubahan yang disebabkan oleh turunnya hujan tersebut; tanam-tanaman yang mengering atau bahkan tampak mati telah menumbuhkan pucuk-pucuknya yang segar, sumur dan sungai yang mendangkal perlahan kembali mengalirkan riak airnya, begitu juga dengan lingkungan dan udara yang panas berdebu—telah berubah menjadi bersih dan menyejukkan rongga-rongga pernapasan. Begitulah Allah azza wa jalla dengan karunia-Nya yang mampu menghidupkan lahan-lahan yang mati untuk dihidupkannya kembali sehingga bisa dimanfaatkan oleh makhluk hidup-Nya. Mari simak firman-Nya,

Artinya, “Dan yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan), lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, …”. (QS. az-Zukhruf, 43:11)

Berikut juga firman-Nya,

Artinya, “Dia lah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih, agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak.” (QS. al-Furqon, 25:48-49)

Dan firman-Nya,

Artinya, “Dan diantara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa engkau lihat bumi itu kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air diatasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.(QS. Fushshilat, 41:39)

Dalam setiap yang Allah Ta’ala ciptakan sesungguhnya mengandung kegunaan bagi makhluk-Nya, dan dari setiap manfaat yang dirasakannya itu sudah seharusnya manusia mampu menggunakan kemampuan otaknya untuk memikirkan pengajaran apa yang hendak disampaikan Allah Rabbul ‘alamin dari ayat-ayat kauniyah tersebut. Firman-Nya,

Artinya, “Dan sesungguhnya Kami telah mempergilirkan hujan itu diantara manusia supaya mereka mengambil pelajaran (darinya); maka kebanyakan manusia itu tidak mau kecuali mengingkari (nikmat).” (QS. al-Furqon, 25:50)

Lalu firman-Nya,

Artinya, “Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya.” (QS. al-Hadid, 57:17)

Dalam salah-satu ayat diatas, telah disebutkan bahwa kebanyakan manusia adalah makhluk pengingkar nikmat. Berita ini merupakan kebenaran mutlak yang disampaikan Allah Ta’ala Yang Maha ‘alim yang seharusnya manusia camkan dalam kehidupannya sehingga berusaha tak termasuk golongan yang mendapat ancaman berupa kemurkaan-Nya itu. Renungi juga kisah umat-umat terdahulu yang telah ditimpakan azab-Nya karena banyak bermaksiat dan mengkufuri nikmat, seperti yang terjadi pada bangsa Sodom di zamannya,

Artinya, “Dan sesungguhnya mereka (kaum musyrik Mekah) telah melalui sebuah negeri (Sodom) yang (dulu) dihujani dengan hujan yang sejelek-jeleknya (hujan batu). Maka apakah mereka tidak menyaksikan runtuhan itu; bahkan adalah mereka itu tidak mengharapkan akan kebangkitan.” (QS. al-Furqon, 25:40)

Dahulu Rasulullah saw saat mendapati perubahan cuaca menjadi mendung, beliau saw terlihat resah dan diliputi kecemasan. Ummul mu’minin ‘Aisyah ra menceritakan perihal tersebut,

كَانَ النَّبِىُّ إِذَا رَأَى مَخِيلَةً فِى السَّمَاءِ أَقْبَلَ وَأَدْبَرَ وَدَخَلَ وَخَرَجَ وَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ، فَإِذَا أَمْطَرَتِ السَّمَاءُ سُرِّىَ عَنْهُ، فَعَرَّفَتْهُ عَائِشَةُ ذَلِكَ، فَقَالَ النَّبِىُّ: مَا أَدْرِى, كَمَا لَعَلَّهُ  قَوْمٌ, كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ.

Artinya, ”Nabi saw apabila melihat mendung di langit, beliau saw beranjak ke depan, ke belakang atau beralih masuk atau keluar, dan berubahlah raut wajah beliau. Apabila hujan turun, beliau saw mulai menenangkan hatinya. ’Aisyah sudah memaklumi jika beliau saw melakukan hal seperti itu. Lalu Nabi saw mengatakan,Aku tidak mengetahui apa ini, seakan-akan inilah yang terjadi (pada kaum ’Aad), sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman (QS. al-Ahqaf ,46:24), “Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka, “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.” (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih.”  (HR. Bukhari)

Rasulullah yang telah menjadi uswah bagi umatnya, senantiasa mengambil hikmah dari ayat-ayat yang diperlihatkan Allah azza wa jalla kepadanya. Apatah lagi kita sebagai manusia biasa yang masih harus sering mendapat peringatan dari-Nya akibat banyak lalai serta khilaf, sehingga sudah seharusnyalah kita turut bermuhasabah.

4. Tidak ber-suudzhon kepada Allah terhadap hujan yang turun

Terdapat perbedaan yang tampak dari manusia ketika menyikapi datangnya hujan. Sebagian memperlihatkan keriangan atas karunia-Nya itu berupa ungkapan syukur dan berusaha menarik manfaatnya. Namun sebagiannya kufur dan mengerjakan beberapa amalan yang bertolak-belakang dari apa-apa yang sudah dicontohkan Rasulullah, diantaranya adalah dengan mengutuk angin dan mencela hujan saat turun tidak sesuai dengan hajatnya atau menghalanginya dari sesuatu aktivitas yang hendak dikerjakannya, selain itu ada pula yang mengiringi hujan dengan melakukan kegemaran yang diharamkan seperti merokok atau mengkonsumsi khamr dengan alasan sebagai pengusir rasa dingin yang telah dihantarkan hujan.

Dalam keseharian, tak jarang kita pun tak luput dari sifat buruk ini. Cobalah ingat-ingat, sudah seberapa sering kita berkeluh-kesah karena menganggap datangnya hujan tak tepat waktunya sehingga menunda bahkan menggagalkan rencana yang telah kita rancang. Atau bukankah minimal acapkali kita mendapati hati sendiri yang menggerutu seperti ini, “Yaa, hujan lagi, hujan lagi…”

Hati-hatilah, karena ucapan atau perbuatan semacam itu bisa termasuk kedalam ungkapan menyesali dan mencaci-maki sesuatu yang telah Allah Ta’ala tetapkan. Rasulullah saw telah mengingatkan,

لاَ تَسُبُّوا الرِّيحَ.

Artinya, ”Janganlah kamu mencacimaki angin.” (HR. Tirmidzi)

Dalam sebuah hadits qudsi, Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah telah bersabda,

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ ، يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ ، بِيَدِى الأَمْرُ ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ.

Artinya, “Telah berfirman Allah Ta’ala, “Manusia menyakiti-Ku; dia mencaci-maki masa (waktu), padahal Aku-lah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih-berganti.” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)

Namun Allah Ta’ala telah mengilhamkan kepada Rasul-Nya untuk berdo’a ketika melihat atau merasakan tiupan angin yang kencang dengan mengucapkan,

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْاَلُكَ خَيْرَهَا وَ خَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ وَ أَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْهَا وَ شَرَّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ.

Artinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu akan angin yang baik dan yang dibawanya, dan aku mohon perlindungan kepada-Mu dari bencana yang dibawanya.” (HR. Muslim)

Dari dalil tersebut sudah jelas bahwa mencaci-maki adalah perbuatan yang dilarang. Serupa pula halnya dengan mencaci-maki makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa, seperti juga mencaci-maki hujan, maka ia adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah Ta’ala.

Ketahuilah bahwa hujan yang telah banyak dicela banyak manusia tersebut tidak diciptakan secara sia-sia tanpa manfaat. Bahkan hujan batu yang merupakan seburuk-buruk hujan yang telah Allah timpakan kepada kaum-kaum yang dilaknat-Nya—merupakan salah-satu pengajaran berharga yang layak dijadikan hikmah bagi manusia setelahnya agar tak meniru setiap perbuatan maksiatnya. Seperti firman-Nya,

Artinya, “Dan Kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), maka amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi peringatan itu.” (QS. an-Naml, 27:58)

Akan tetapi hanya akal manusia yang beriman sajalah yang mampu mengakui bahwa semesta alam yang diciptakan Rabbul ‘alamin bersifat tak sia-sia. Allah Ta’ala berfirman,

Artinya,”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali ‘Imron, 3:190-191)

Adapun datangnya hujan yang mengakibatkan banjir, hal itu timbul dari ulah buruk manusia itu sendiri. Tidaklah lingkungan menjadi rusak tak terkendali melainkan ada campur-tangan manusia didalamnya. Sedikit contohnya adalah sungai-sungai yang dialih-fungsikan menjadi tempat pembuangan sampah, atau bantarannya yang dipersempit untuk pembangunan ini dan itu. Belum lagi penebangan liar pepohonan yang berfungsi sebagai penyimpan air alami, atau penutupan lahan terbuka menjadi jalan-jalan beraspal—semua itu merupakan faktor penyebab air hujan tak terserap sempurna sehingga air terus menggenang dan menimbulkan banjir.  Sudah seyogyanya keadaan yang memprihatinkan ini disadari oleh manusia; bahwa tidaklah keburukan itu terjadi selain buah-tangan manusia sendiri. Allah Ta’ala juga telah menginformasikan hal ini,

Artinya, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ar-Rum, 30:41)

Namun ketika hujan deras terus mengguyur sehingga adakalanya menimbulkan kekhawatiran, Rasulullah memberikan petunjuk dengan lantunan do’anya seperti berikut,

اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

Artinya, “Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turunkanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah, dan tempat tumbuhnya pepohonan.” (HR. Bukhari-Muslim)

Lafadzh do’a tersebut memberikan sebuah makna bahwa bagaimanapun kondisi turunnya hujan—apakah teratur ataukah deras tiada henti—ia tetap merupakan suatu karunia yang seharusnya disyukuri manusia. Adapun permasalahan yang kadang muncul karena turunnya hujan, sesungguhnya suatu permasalahan lain yang harus dicari penyelesaiannya.

Jika seandainya manusia mau ber-husnudzhon selalu kepada Allah Ta’ala, sudah pasti ia akan mendapatkan pengajaran dari ayat-ayat kauniyah yang ada di sekitarnya. Lihatlah, betapa dengan hujan—Allah Ta’ala telah juga membuka berbagai peluang rezeki bagi yang membutuhkannya. Salah-satu diantaranya adalah dengan menjual jasa sebagai pengojek payung. Betapa banyak orang yang terbantukan dengan adanya aktivitas ini, namun sepatutnya memang harus tetap memperhatikan rambu-rambu yang digariskan syari’at.

5. Ketika terdengar petir

Siapa yang tak takut ketika melihat petir berkilatan di langit kala cuaca hujan? Suaranya yang keras menggelegar spontan membuat kita menyumbat lubang telinga karena terkejut dan tak sanggup mendengar dentumannya yang serasa hendak menimpa diri kita yang karenanya segera berhajat melindungi diri darinya. Peristiwa alam ini juga merupakan salah-satu perumpamaan yang difirmankan Allah Ta’ala bagi golongan manusia yang memilih berada dalam kesesatan,

Artinya, “Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelapgulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak-anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, disebabkan takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. (QS. al-Baqarah, 2:19)

Di kala petir terjadi, bukanlah perkataan tak berfaedah atau kalimat serapahan yang seharusnya dilontarkan seorang mu’min, akan tetapi ucapan,

سُبْحَانَ الَّزِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ خِيْفَتِهِ.

Artinya, “Maha suci Allah; petir dan malaikat bertasbih dengan memuji-Nya karena tunduk kepada-Nya.” (HR. Thabrani)

Allah azza wa jalla berkehendak memperlihatkan kekuasaannya berupa guruh dan kilat kepada makhluk-Nya dengan memiliki tujuan tertentu, yaitu memunculkan perasaan takut akan ditimpa sambarannya, sehingga memiliki pengharapan agar Allah Ta’ala memberi perlindungan kepadanya. Allah Ta’ala berfirman,

Artinya, “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.” (QS. ar-Rum, 30:24)

Suara halilintar yang begitu dahsyat juga akan mengingatkan manusia bahwa kebesaran Rabbul ‘alamin menutupi segala kepongahan makhluk-Nya yang sering merasa besar dihadapan-Nya. Firman-Nya,

Artinya, “Dia-lah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepadamu untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia mengadakan awan mendung, dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan yang Maha keras siksa-Nya.” (QS. ar-Ra’d, 13:12-13)

Oleh sebab itu, mari teladani Rasulullah dalam menghadapi ayat-ayat kauniyah-Nya, seperti diperlihatkannya kita akan petir dan guruh ini. Segeralah berlindung kepada-Nya agar kejadian buruk tidak menimpa diri kita dan juga bersegera mengambil ibroh darinya. Jangan sampai kita dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang ditimpakan laknat berupa halilintar layaknya bangsa Sodom dan kaum Musa as terdahulu. Na’udzu billahi min dzaalika…

6. Membiarkan sebagian anggota badan agar terkena air hujan

Sebagian orang-tua di jaman dulu biasanya membiarkan anak-anaknya bermain-main dengan hujan (mandi hujan) dengan harapan agar si anak tersebut kelak tidak mudah jatuh sakit. Lalu bagaimana pula dengan kebiasaan Rasulullah terhadap hujan yang sedang turun? Anas bin Malik ra menyampaikan hadits berikut,

Artinya, “Ketika kami sedang bersama Rasulullah, hujan turun menimpa kami. Lalu Rasulullah menyingsingkan bajunya hingga terkena hujan. Lalu kami bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan ini?” Maka beliau saw menjawab, “Karena air hujan itu baru saja diciptakan oleh Rabb-nya.” (HR. Muslim)

Petunjuk dari hadits diatas menyiratkan bahwa air hujan sesungguhnya adalah berkah bukan sumber penyakit yang harus dibenci atau ditakuti. Keadaan lingkungan dan kondisi fisik seseorang lah justru yang bisa membuat dirinya rentan terkena sakit. Namun juga bukan berarti diharuskan untuk bermandi-mandi hujan. Tiap-tiap diri lebih mengetahui apa yang menjadikannya manfaat atau malah memudharatkannya. Yang terpenting adalah tidak menjadikannya tathoyur.

7. Do’a setelah hujan reda

Rasulullah mengajarkan kepada para sahabat sebuah do’a yang biasa beliau ucapkan ketika hujan sudah berhenti seperti berikut,

مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَ رَحْمَتِهِ.

Artinya, “Kita telah diberi hujan karena karunia dan rahmat-Nya.” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)

Adapun lafal hadits yang juga merupakan salah-satu hadits qudsi ini secara lengkap adalah sebagai berikut,

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِىِّ أَنَّهُ قَالَ :رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنَ اللَّيْلَةِ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ: هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ ؟ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ.

Artinya, “Dari Zaid bin Kholid alJuhani ia berkata, “Rasulullah pernah sholat subuh bersama kami di Hudaibiyah saat turun hujan dari langit sejak malam. Ketika beliau saw berpaling, beliau saw menghadap orang-orang, lalu bertanya, “Tahukah kalian apa yang telah difirmankan oleh Robb kalian?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau saw bersabda, “Allah berfirman  “Diantara hambaku ada yang menjadi mumin dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang mengatakan, hujan diturunkan kepada kami karena karunia dan rahmat Allah, maka orang itu telah beriman kepada-Ku dan kafir terhadap bintang-bintang. Sedangkan orang yang mengatakan, “hujan diturunkan kepada kami karena jatuhnya bintang ini dan itu”, maka orang itu telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)

Dari hadits diatas, diketahui bahwa yang juga menjadi ciri muslim yang beriman kepada Allah Ta’ala adalah muslim yang ketika hujan telah diturunkan, ia mengatakan bahwa hal itu adalah disebabkan karunia dan rahmat-Nya semata.

Dalam Kutub wa Rosa’il Lil ‘Utsaimin, Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, , ”Tidak boleh bagi seseorang menyandarkan turunnya hujan disebabkan bintang-bintang. Karena ini bisa termasuk perbuatan kufur akbar (kufur yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam) jika ia yakin bahwa bintang tersebutlah yang menciptakan hujan. Namun, apabila ia hanya menganggap bintang tersebut sebagai sebab, maka perbuatan seperti ini termasuk kufur ashgar (kufur yang tidak menyebabkan seseorang keluar dari Islam). Ingatlah bahwa bintang tidak memberikan pengaruh terjadinya hujan. Bintang hanyalah sekedar tolak-ukur waktu semata.”

Demikian, mudah-mudahan memberi manfaat. Wallahu a’lam bisshowab… (ghomidiyah)

Share the Post: