Menyongsong Harapan Kejayaan Islam

Kaum Muslimin sangat merindukan kembalinya kejayaan Islam, agar dapat menciptakan dunia yang penuh kedamaian, kesejahteraan, kasih sayang, keadilan dan persatuan bagi segenap umat manusia. Harapan ini merupakan missi Islam yang diproklamirkan oleh Rasulullah Saw sejak beliau memulai dakwahnya di Makkah yang dikenal dengan misi Rahmatan lil Alamin.

Upaya melanjutkan misi ini, merupakan amanah yang menjadi tanggung jawab umat Islam. Sesungguhnya problema terbesar kaum MusIimin di seluruh dunia, adalah belum berlakunya Syari’ah Islam. Hampir seluruh tragedi politik dan kemanusiaan yang datang bertubi-tubi menimpa kaum Muslimin, sebenarnya berpangkal pada masalah ini. Problema ini diperparah lagi dengan kenyataan, bahwa kaum Muslimin dewasa ini belum memiliki tata kepemimpinan ummat yang berfungsi secara efektif dan berkualitas untuk menghantarkan serta memberdayakan ummat pada tingkat kehidupan yang beradab dan bermartabat sebagaimana arahan pesan-pesan wahyu llahy.

Disadari bahwa pengentasan secara menyeluruh atas segenap persoalan tersebut tidak bisa lain kecuali dengan terbangunnya suatu kekuatan bersama antar komponen ummat Islam, serta terciptanya ayunan langkah yang teratur ke arah tujuan yang jelas dan bermakna. Kabut gelap malapetaka, insya Allah akan sirna manakala benih-benih permusuhan di antara ummat Islam yang mendukung berlakunya Syari’ah Islam dan ummat Islam yang belum siap menerima formalisasi Syari’ah Islam dapat dilumatkan sehingga terbentanglah jembatan emas bagi terselesaikannya persoalan ummat yang lainnya, dan pada gilirannya terbitlah fajar keselarasan dan keterpaduan gerak perjuangan di antara komponen ummat Islam.

Dalam kaitan inilah, maka perlu adanya kekuatan sinergis seluruh kaum Muslim, dengan berbagai macam wadah kegiatan dan perjuangannya untuk menyatukan seluruh potensinya, memikul beban bersama, langkah dan upaya membangun kejayaan kembali Islam.

Namun di kalangan kaum Muslimin muncul fenomena jahiliyah, bahwa menegakkan kehidupan berbasis Islam seakan ancaman bagi eksistensi serta keselamatan dirinya di tengah arus globalisasi dewasa ini. Hal ini tercermin pada keengganan umat Islam untuk berterus terang dengan kebenaran agamanya, dan menerima stigmatisasi musuh-musuh Islam, seolah-oleh Islam adalah agama yang telah kehilangan relevansi untuk terus dipertahankan di era globalisasi ini.

Stigmatisasi negatif ini dirasakan teramat berat oleh sebagian tokoh-tokoh Islam, terutama para politisinya, yang menyebabkan mereka enggan mengibarkan bendera syaria’at Islam secara jujur dan terus terang. Kondisi demikian menciptakan hubungan yang tegang, saling mencurigai di antara komunitas Muslim sendiri, sehingga muncul kategorisasi Islam radikal versus Islam moderat, sikap inklusif versus eksklusif, ideologi nasional versus transnasional, dan lain sebagainya.

Kategorisasi berbau konflik ini, merupakan rekayasa provokatif  musuh-musuh Islam, dengan maksud memandulkan kekuatan Islam melalui politik devide at impera, sesuai program mereka. Akibatnya,  tidak sedikit dari kalangan aktivis Islam yang terinfeksi perasaan tertindas, tertekan, teraniaya, dan “gara-gara berjuang, hidup saya jadi sengsara”.

Kecewa terhadap Islam, lalu memosisikan perjuangan penegakan syari’at Islam sebagai penyebab kegagalan dan kesengsaraan hidupnya,    jelas merupakan kondisi mental abnormal. Dalam agenda hidup para mujahid, mentalitas demikian sungguh tercela, karena menjadikan agama Allah sebagai kambing hitam atas ironi oportunisme serta ketidak berdayaannya.  Dalam hal ini,  Allah Swt mengingatkan, bahwa Islam datang bukan untuk menyengsarakan manusia,  tidak juga membuat susa. Dalam Qur’an surat Thaha ayat 2 dinyatakan:

“Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orangyang takut kepada Allah.”

Al-Qur’an diturunkan bukan untuk menjadikan manusia hidup dalam tatanan yang membawa kesengsaraan, kemiskinan, penderitaan dan saling menindas. Tetapi untuk memberikan tatanan hidup yang dapat membangun kasih sayang, berbuat kebajikan, perdamaian, persaudaraan, dan saling menghormati martabat manusia satu dengan lainnya. Dan untuk menegakkan tatanan ideal seperti ini, sepintas terasa berat dan sulit bahkan menjadi sasaran permusuhan orang-orang bermental jahat seperti para penyembah berhala bangsa Quraisy.

Ketika suatu komunitas merasa hidupnya tertekan, pasti memunculkan berbagai ketegangan antara kelompok yang satu dengan yang lain dalam komunitas tersebut. Pada saat demikian amat sulit suatu umat dapat menyatukan diri karena adanya ganjalan, berupa rendahnya tingkat saling mempercayai sesama mereka.

Hilangnya Kepercayaan Sesama Muslim: Umat Islam dewasa ini terbelenggu dalam situasi saling mencurigai. Kelompok yang merasa dirinya sebagai moderat dan toleran, apriori menyikapi kelompok yang dikategorikan radikal dan ekstrem. Bila kelompok yang disebut eksterim mencoba mencairkan suasana dengan ajakan berdialog, serta merta diabaikan ajakannya, karena khawatir ancaman orang-orang kafir menimpa komunitasnya di kemudian hari. Bahkan kelompok moderat ini dengan enteng menyebarluaskan pandangannya secara sinis terhadap kelompok radikal atau militan dengan berbagai label absurd. Misalnya, anggapan bahwa, “tuntutan formalisasi syari’at Islam sebagai tidak taktis, pendek akal, beragama hitam putih, dan tuduhan negatif tanpa dasar kebenaran.

Kondisi seperti ini jelas merupakan rintangan bagi sesama Muslim untuk menciptakan perdamaian. Oleh karena itu menjadi tanggungjawab umat Islam semuanya, agar berani menyingkirkan rasa saling tidak percaya secara total, kemudian secara ikhlas dan jujur membangun persatuan secara total juga, di bawah naungan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullkah Saw.

Terikat Program Sendiri: Dampak negatif dari buruk sangka, apriori, akibat mentalitas saling mencurigai sesama Muslim, adalah munculnya kelompok Islam yang bangga terhadap program perjuangan kelompoknya, dan secara sepihak menjadikan sikap dan faham kelompoknya sebagai tolak ukur kebenaran dari otentisitas perjuangan Islam. Sebagai akibatnya, perjuangan yang dilakukan oleh kelompok Islam lainnya dianggap sebagai penyimpangan dan perintang bagi perjuangan dakwah kelompoknya. Bahkan segala kebajikan yang diserukan kelompok lain, tidak mengikat mereka yang merasa berbeda dengan komunitas Islam lain itu. Bukan karena kelompok lain itu salah dari sudut pandang Al-Qur’an, melainkan karena sikap tegas membela kebenaran dan melawan kekafiran, melalui dakwah dan jihad fie sabilillah.

Maka terjadilah apa yang semestinya dihindari, yaitu “ rela bermusuhan dengan sesama Muslim, sebaliknya merasa happy bermesraan dengan musuh-musuh Islam.” Mereka merasa enjoi bekerjasama dengan musuh Islam asalkan eksistensi diri dan kelompoknya dapat dipertahankan. Akibat selanjutnya, ketika saudara Muslimnya ditindas dan dizalimi penguasa kafir, mereka tidak merasa berkewajiban membela serta menunjukkan solidaritas Islamnya.

Kenyataan ini tentu saja mempersulit upaya menyatukan barisan umat Islam. Untuk kepentingan ukhuwah Islamiyah, gerakan Islam harus berani mengavaluasi diri sendiri, apakah kita menjadi bagian dari orang-orang yang jujur dalam beragama, ataukah orang-orang yang memanfaatkan Islam sebagai komoditas mencari kesenangan duniawi. Selama suasana batin dari tiap-tiap umat Islam, terutama ulama dan pemimpinnya masih diliputi oleh semangat mencari kesenangan duniawi dengan mengorbankan agamanya, sudah dapat dipastikan stagnasi hubungan sesama Muslim akan kian sulit dicarikan solusinya.

Stagnasi Komunikasi Sesama Muslim: Ketika stagnasi komunikasi sesame Muslim menjadi dasar dalam interaksi sosial umat Islam maka yang muncul adalah saling menuduh, saling menyalahkan, saling berlomba menjadi agen musuh Islam untuk menghancurkan kekuatan kelompok Islam yang berbeda pendapat dengan kelompoknya. Kenyataan itulah yang menimpa saudara Muslim di Irak, Afghanistan, dan Pakistan. Hal ini terjadi karena tiap kelompok merasa terancam dengan adanya kelompok Islam yang lain, lalu menggunakan kekuatan musuh untuk memperkuat dirinya menghadapi kelompok Muslim lainnya. Subhanallah!

Al-Qur’anul Karim mengungkapkan hal ini dengan sangat jelas.

“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai Para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Qs. Al-Anfal, 8:73)

Apa yang terungkap di dalam Qur’an ini sudah menjadi realitas di zaman kita sekarang. Lalu apa langkah yang bisa dilakukan ketika kita menghendaki terbentuknya persatuan umat Islam, baik skala nasional maupun internasional? Maukah berbagai komunitas, organisasi, partai, dan jama’ah Islam di Indonesia sekarang menaggalkan egosentrisnya dan meleburkan diri secara total menjadi Muslim ansich tanpa atribut lain? Mungkinkah hal ini dapat direalisasikan, dan dengan cara bagaimana melakukannya?

Lemahnya Motivasi Ishlah: Umat Islam sekarang berada dalam situasi problematis karena dua factor. Pertama, faktor ulama, sebagai penyuluh bagi umat untuk beragama dengan cara yang benar. Tetapi terbukti, tidak sedikit di kalangan para ulama ini yang menggunakan predikat keulamaannya untuk mengejar gemerlap duniawi, menjadi pendamping bagi penguasa zalim, mencarikan dalil-dalil yang memuaskan hati orang-orang kaya untuk terus melanggengkan sistem ekonomi ribawi, bahkan dengan terang-terangan memelintir ayat-ayat Al Qur’an demi kepentingan nafsunya.

Bukti faktual berkenaan dengan prilaku tidak terpuji ini, adalah pemelintiran ayat-ayat jihad. Ada ulama yang menyatakan, jihad berarti  amal shalih, sedangkan yang lainnya bukan jihad. Ketika ditanyakan tentang jenis-jenis jihad sebagaimana disebutkan oleh Imam Malik dalam kitab Almudawwantul Kubra, bahwa jihad mencakup: amal shalih, membela hak yang dirampas orang lain, amar ma’ruf nahyu mungkar, dan perang dengan senjata. Ternyata mereka tidak memberikan komentar apapun. Selain menunjukkan kelemahan, juga merusak citra syari’at jihad yang dapat menyesatkan pemahaman umat.

Mengapa ulama memiliki motivasi yang lemah untuk memperjuangkan Islam? Karena mereka telah menjadikan dunia ini seakan alam akhirat, sebelum alam akhirat yang sebenarnya datang. Yaitu, “hubbud dunya wa karahiyatul maut -cinta dunia dan takut mati.” Mereka tidak sabar menghadapi derita dan sengsara di dunia ini unruk kelak memperoleh surga di akhirat.

Inilah yang disebutkan oleh Rasulullah Saw sebagai qurraun fasaqatun (ulama fasek). Karena ulamanya fasek, maka ummat pun tidak mendapatkan pencerahan mengenai ajaran Islam yang sebenarnya. Ummat hanya dijejali dengan pendapat syeikh ini dan ulama itu, sehingga mereka jauh dari Al Qur’an dan hadits shahih. Dampak buruknya, sekalipun umat rajin beribadah, namun ketekunan beribadah ternyata tidak berpengaruh dominan dalam menggerakkan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik umat Islam di muka bumi ini.

Selain itu, sebagian ummat Islam malah alergi menerapkan syariat Islam dalam kehidupan politik, bahkan beranggapan antara Islam dan politik, Islam dan Negara, adalah dua hal yang berbeda, dan tidak boleh dicampur adukkan. “Politik merupakan hal yang kotor, sedang agama merupakan hal yang suci, karena itu agama tidak boleh dicampur adukkan dengan politik,” ujar mereka.

Retorika tanpa logika syar’iyah melahirkan sikap ambivalen, sama sekali tidak membantu meningkatkan iman dan amal shalih. Ibarat rinso dan baju kotor. Rinso adalah alat pencuci, sedangkan baju terkena lumpur adalah barang kotor. Apakah anda akan mengatakan bahwa baju kotor ini jangan dicuci dengan rinso, karena rinso pembersih tidak boleh dicampur dengan baju yang kotor? Ataukah anda akan mengatakan, “bila baju kotor harus dipakai terus dan tidak boleh dicuci dengan rinso pembersih, bukankah menyebabkan pemakainya terkena penyakit?” Jika anda tidak mau memakai baju kotor karena khawatir terjangkit penyakit, maka seharusnya logika waras anda berkata: “Jangan menggunakan politik untuk mengatur Negara, karena politik itu kotor.” Konsekuensinya, anda harus mengganti politik itu dengan syariat Islam agar manusia seantero dunia menjadi sehat dan tidak berpenyakit.

Oleh karena itu, ulama yang jujur akan dapat menjadi penyuluh bagi ummat dan memberikan pencerahan bagi para penguasa. Adanya ulama yang shalih, jujur dan pemberani menegakkan kalimatul haq di hadapan penguasa yang zalim merupakan kebutuhan mutlak dalam kehidupan modern ini. Tanpa adanya ulama berkarakter ulama mujahid, sulitlah bagi dunia Islam untuk membangun kembali kejayaannya, dengan mempersatukan barisan dan menyelamatan ummat dari jebakan para pecundang agama.

Bagaimana melahirkan ulama yang dapat menjadi guru bagi ummat dan penyuluh bagi penguasa guna menyongsong kejayaan Islam di masa depan? Seorang ulama iharuslah berkarakter, sehingga berada di garis terdepan dalam mengibarkan panji-panji penegakan syari’at Islam. Seorang ulama adalah manusia yang paling takut menyalahi syariat Allah dan RasulNya dalam segala urusan; dan paling berani mengingatkan ummat dan penguasanya untuk kembali ke jalan Allah.

Dewasa ini, apakah unsur penhttps://www.abujibriel.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg terciptanya persatuan umat itu lebih dominan atau sebaliknya unsur perpecahan yang lebih besar?  Dalam ilmu fisika dikenal adanya hukum penhttps://www.abujibriel.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg dan penahan. Bila kekuatan penahan lebih lemah dari kekuatan penhttps://www.abujibriel.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg, maka kekuatan penhttps://www.abujibriel.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg akan masuk ke areal tujuan. Bila kekuatan penahan lebih kuat maka penhttps://www.abujibriel.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg akan tersingkir.

Hukum fisika ini juga bisa berlaku dalam perjuangan agama dan ideologi. Bila kekuatan penhttps://www.abujibriel.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg yang terdapat di dalam diri orang- orang yang memperjuangkan Islam, untuk membangun kekuatan Islam lebih kuat daripada semangat perpecahan yang terdapat pada diri masing-masing tokoh, pasti persatuan akan segera diraih.

Lalu, bagaimana menumbuhkan semangat persatuan di kalangan  umat Islam? Jawabannya terdapat dalam firman Allah surat Ali Imram ayat 103, yang merupakan hukum fisika bagi alam, dan hukum mental bagi manusia.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”

Ayat ini secara aksiomatis menegaskan bahwa tidak ada jalan lain yang jadi pijakan ummat Islam untuk bersatu, selain ummat Islam konsisten berpegang pada syari’at Islam secara utuh, sebagaimana termaktub dalam Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Saw. Sedangkan cara lain, justru akan menghancurkan kekuatan umat Islam itu.

Analisis yang banyak dikemukan sarjana Muslim lulusan Barat dengan tinjauan sosiologis, politis, dan psykologis berkenaan dengan perpecahan umat Islam dan sulitnya untuk bersatu, hanyalah sebuah imajinasi dan halusinasi yang tidak memili landasan wahyu Ilahy.

Oleh karena itu, umat Islam harus jujur terhadap dirinya sendiri, bersedia untuk i’tisham (berpegang teguh) pada Quran dan sunnah secara konsisten; atau sebaliknya dengan resiko terus menerus berpecah belah ala jahiliyah. Untuk itu Majelis Mujahidin menyerukan pada seluruh komponen dan pimpinan umat Islam untuk melakukan dialog secara terbuka, membicakan segala sisi keterpurukan dan kelemahan umat Islam sekarang, guna merumuskan langkah-langkah kongkrit menuju kebangkitan dan kejayaan umat Islam di era globalisasi ini.

Seruan ini sekaligus merupakan bentuk pertanggungan jawab Majelis Mujahidin kepada Allah dan umat Islam, sedangkan pihak atau kelompok ummat Islam lainnya diharapkan juga berbuat hal yang sama. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya pada kita.

Kita harus mengakhiri kondisi stagnasi, merasa serba lemah, dan tidak berdaya menghadapi musibah yang membebani ummat Islam selama lebih dari satu abad. Yaitu, sejak khilafah Utsmaniyah kendalinya berada di tangan kaum nasionalis sekuler dua abad lalu. Dengan pertolongan Allah muncul kesadaran pada segenap komponen umat Islam seluruh dunia untuk bersama-sama membangun kembali tali silaturrahim dan merajut benang yang terputus di antara sesama Muslim, karena provokasi ideologi nasionalis sekuler di berbagai negeri Islam.

Kesadaran akan pentingnya persatuan dalam rangka menegakkan syari’at Islam harus senantiasa dikumandangkan agar menjadi kekuatan yang dapat dipergunakan untuk membangun dunia yang diamanatkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Yaitu dunia yang penuh dengan rahmat Allah bagi segenap umat manusia apapun agama, bangsa dan asal usulnya. Bahkan juga menjadi rahmat bagi segenap makhluk di jagat raya ini, karena Islam melindungi hak hidup flora dan fauna sebagai makhluk Allah juga. Alangkah indahnya jagat raya yang dinaungi oleh syariat Islam, dan alangkah damainya hati setiap manusia yang merasakan sentuhan rahmat Ilahy.

Dalam kaitan ini, Majelis Mujahidin mengingatkan kepada seluruh kaum Muslimin atas pesan Khalifah Abu Bakar: “Tidak ada persatuan tanpa mengikuti sunnah Nabi Saw.”

Demikian pula pesan Khalifah Umar bin Khathab: “Kebenaranlah yang membuat kamu menjadi kuat, dan bukan kekuatan kamu yang membuat jayanya kebenaran.” Dengan heroisme yang sma ditunjukkan oleh Khalifah Utsman bin Affan yang berpesan: “Kejayaan ummat ini akan terpelihara selama Al Qur’an berdampingan dengan kekuatan. Bilamana kekuatan tanpa Qur’an akan menjadi anarkhis, dan bilamana Qur’an tanpa kekuatan tidak bermakna bagi kehidupan.”

Wallahu a’lam bis shawab!

Share the Post: