Kekeliruan Tawakal Terhadap Takdir

muhasaba

(Abujibriel.com)—Yaa ayyuhal ikhwah, ada orang yang berpendapat: Bila telah ditakdirkan terjadi, semuanya pasti terjadi, baik seseorang berdo’a ataupun tidak. Sebaliknya, bila telah ditakdirkan tidak terjadi, segala sesuatu tidak akan terjadi, baik ia memohon ataupun tidak.

Orang yang berpendapat demikian pendapatnya benar secara mutlak, sehingga ia tidak mau berdo’a sama sekali. Ia senantiasa berkata, “Tidak ada faedahnya berdo’a.” Maka kalau diikuti, pendapatnya akan melemahkan semua usaha.

Untuk mengoreksi sikap seperti ini, kita katakan, “Bila kenyang itu telah ditakdirkan dan pasti terjadi, anda makan ataupun tidak makan pasti kenyang.” Demikian pula sebaliknya, jika semua hal telah ditakdirkan tidak akan terjadi, gerak kehidupan ini tidak akan berkembang. Manusia tidak perlu kawin, berkeluarga, dan sebagainya.

Apakah manusia yang berakal akan berbicara semacam itu? Sebenarnya binatang pun telah difitrahkan untuk berusaha secara langsung memenuhi keperluan hidupnya. Padahal, binatang itu tidaklah berakal.

Sebagian mutakayyis, yakni orang-orang yang menyangka dirinya berpendapat bahwa do’a adalah pintu peribadatan murni yang ditetapkan Allah untuk para da’i semata. Dengan kata lain, para da’i ditetapkan untuk tekun dalam ibadah do’a, tanpa terpengaruh oleh harapan-harapan yang muncul dari do’a itu. Oleh karena itu, bagi mutakayyis, tidak ada perbedaan antara berdo’a dan tidak berdo’a, dengan hati maupun lidah. Menurut mereka, posisi do’a adalah posisi berdiam diri. Dengan bahasa lain, kegiatan do’a sama dengan kegiatan diam.

Kelompok lain yang mereka merasa lebih pintar daripada kelompok diatas mengatakan bahwa do’a itu merupakan tanda yang diberikan oleh Allah Ta’ala sebagai isyarat atas terlaksananya suatu keperluan. Bila Allah menyetujui do’a seorang hamba, itu adalah tanda bahwa do’a yang dipanjatkan tersebut pasti (dapat) terlaksana. Hal ini seperti awan hitam yang merupakan petunjuk datangnya hujan.

Mereka berkata, “Begitulah hukum ketaatan dan pahalanya, kekafiran dan maksiat beserta siksanya, bukan merupakan sebab-sebab terjadinya pahala atau siksa itu sendiri.”

Begitulah dalam pandangan mereka. Sebab dan akibat dianggap tidak saling bertalian. Sebab tidak dianggap sebagai pemicu munculnya suatu akibat. Pendapat ini jelas bertentangan dengan akal, fitrah, dan agama. Orang-orang berakal akan menertawakannya.

Pendapat yang benar adalah sesuatu ditakdirkan dengan berbagai sebab. Salah-satu dari sebab tersebut adalah do’a. Segala sesuatu ditakdirkan tidak terlepas dari sebab-sebabnya. Oleh karena itu, bila seorang hamba membawa sebab-sebab tersebut, takdir pasti terjadi. Namun bila ia tidak membawa sebab tersebut, takdir tidak akan terjadi.

Takdir masuk surga seperti takdir tercabutnya nafas binatang yang disembelih. Seseorang masuk surga disebabkan oleh amal sholih dan masuk neraka disebabkan oleh amal buruk. Ini adalah haq. Hal seperti inilah yang sering tidak diperhatikan oleh manusia. Pada masalah ini, do’a merupakan unsur sebab yang paling kuat.

Oleh karena itu tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa berdo’a tidak bermanfaat, begitu pula makan, minum, dan perbuatan yang lain. Padahal tidak ada sebab yang lebih bermanfaat daripada do’a untuk memperoleh sesuatu yang diharapkan.

Para sahabat Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam adalah golongan umat yang paling mengetahui (ma’rifat) Allah maupun rasul-Nya dan paling mengetahui agama-Nya yang haq. Oleh karena itu, dibanding golongan lain, merekalah yang paling konsisten berpegang pada perintah berdo’a serta memenuhi syarat-syarat dan tata-caranya.

Umar ibn Khattab radliyallahu ‘anhu memohon pertolongan dengan berdo’a ketika melawan musuh-musuhnya. Padahal dialah yang paling besar jumlah pasukannya. Umar berkata, “Kalian menang bukan karena jumlah kalian banyak. Kalian menang karena bantuan dari langit.”

Umar juga berkata, “Seseungguhnya aku tidak memikul beban dengan mendesakkan ijabah, tetapi lebih dihttps://www.abujibriel.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg oleh keinginan untuk berdo’a. Maka camkanlah bila kalian diilhami untuk berdo’a. Sesungguhnya ijabah itu mengikutinya.” Dengan menyimpulkan perkataan Umar diatas seorang penyair mengatakan: “Barangsiapa diilhami untuk berdo’a, berarti ia akan mendapat ijabah.”

Allah Ta’ala berfirman,

“Berdo’alah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan.” (QS. Ghafir, 40:60)

Juga firman-Nya,

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. al-Baqarah, 2:186)

Dalam hadits riwayat Ibnu Majah yang berasal dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.”

Semua ini menunjukkan bahwa Allah akan senang apabila ada manusia meminta, memohon, dan taat kepada-Nya. Bila Allah ridho, kebaikan senantiasa ada dalam keridhoan-Nya, sebagaimana musibah ada dalam amarah-Nya.

Dalam kitab Az-Zuhd, Imam Ahmad menyebutkan hadits qudsi yang terkenal yang berbunyi, “Akulah Allah, tidak ada tuhan selain Aku. Bila ridha, Aku akan memberi berkah, dan tiada lagi batas berkah-Ku. Bila marah, Aku akan melaknat, dan laknat-Ku mencapai tujuh turunan.”

Sebenarnya akal telah memberikan suatu pengakuan. Begitu pula dalil naqli, fitrah manusia, dan berbagai pengalamannya dalam aturan agama manapun. Yakni mendekat kepada Allah, Tuhan pencipta alam semesta, memohon keridhoan-Nya, dan berbuat kebaikan kepada sesama hamba-Nya merupakan sebab mendapatkan kebaikan , sementara kebalikannya adalah sebab yang mendatangkan bahaya atau keburukan. Oleh sebab itu, apabila hendak mencari nikmat Allah dan menolak amarah-Nya, anda mesti menaati-Nya, bertaqarrub kepada-Nya dan berbuat ihsan kepada sesama hamba-Nya.

Allah telah mengatur hasil, memprogram kebaikan dan keburukan dunia dan akhirat yang hendak didapatkan oleh seseorang. Semua telah disusun dalam kitab berdasarkan amal yang dibuat oleh setiap orang.

Tertib hukum mengenai kebajikan maupun perkara-perkara syar’i disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an,

“Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina.” (QS. al-A’raaf, 7:166)

“Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut).” (QS. az-Zukhruf, 43:55)

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Maidah, 5:38)

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. al-Ahzab, 33:35)

Kadangkala firman Allah disebutkan dengan isyarat suatu pahala disertai dengan sesuatu yang menjadi syaratnya, seperti dalam ayat-ayat berikut:

“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan dan Kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. al-Anfal, 8:29)

“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (QS. at-Taubah, 9:11)

Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).” (QS. al-Jinn, 72:16)

Seringkali Allah Ta’ala mengurutkan hal itu dengan kata “jika” dan “supaya”, misalnya dalam ayat:

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. al-Hasyr, 59:7)

Kadangkala diurutkan menurut sebab-musababnya, seperti ayat-Nya,

“(Azab) yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri, dan bahwasanya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali ‘Imron, 3:182)

“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. al-Ma’idah, 5:105)

Dan berkata orang-orang yang masuk terdahulu diantara mereka kepada orang-orang yang masuk kemudian: “Kamu tidak mempunyai kelebihan sedikitpun atas kami, maka rasakanlah siksaan karena perbuatan yang telah kamu lakukan.” (QS. al-A’raaf, 7:39)

Kadangkala diurutkan menurut tujuan suatu amal secara jelas maupun secara implisit, seperti dalam ayat:

“…Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, …” (QS. al.Baqarah, 2:282)

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. al-A’raaf, 7:172)

“(Kami turunkan al-Qur’an itu) agar kamu (tidak) mengatakan: “Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.” (QS. al-An’am, 6:156)

Kadang-kadang ditandai oleh kalimat fa as-babiyah, yaitu yang berarti “maka” atau “lalu” sebagai akibat, seperti dalam ayat:

“Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah).” (QS. as-Syams, 91:14)

Dalam ayat-ayat yang lain kadang muncul dengan kata-kata “setelah” atau “maka” dan “sesudah” yang menunjukkan balasan, seperti dalam ayat:

“Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut).” (QS. az-Zukhruf, 43:55)

Seringpula dengan menyertakan kata “inna” yang berarti sesungguhnya, seperti dalam ayat:

“Dan Kami telah menolongnya dari kaum yang telah mendustakan ayat-ayat kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat, maka Kami tenggelamkan mereka semuanya.” (QS. al-Anbiyaa, 21:77)

Kesimpulannya, al-Qur’an dari awal sampai akhir menerangkan balasan amal kebaikan maupun kejahatan dan keadaan penyebabnya dengan amat jelas. Bahkan sampai pada tertib hukum dunia-akhirat dengan latar-belakang kemashlahatannya maupun kerusakan yang ditimbulkannya.

Siapapun yang mendalami persoalan ini dan merenungkannya dengan sungguh-sungguh, akan mendapat manfaat yang besar. Ia tidak akan bersandar kepada takdir secara membabi-buta sehingga tidak menjadikan ketakwaan hanya sebagai wujud ketidak-mampuan semata.

Orang yang pandai (dalam agama) menolak takdir dengan takdir, menhttps://www.abujibriel.com/wp-content/uploads/2020/11/single-post-featured-image10.jpgg takdir dengan takdir, dan menghaadang takdir dengan takdir. Lebih dari itu, ia tidak dapat hidup kecuali dengan takdir. Maka lapar, haus, dingin , dan hal-hal lain yang menakutkan dan mengkhawatirkan berasal dari takdir juga. Manusia umumnya lupa untuk menolak takdir dengan takdir.

Orang yang dikaruniai kepandaian oleh Allah Ta’alah dan diilhami petunjuk-Nya akan dapat menolak dan mencegah takdir. Ia akan mencegah takdir hukuman akhirat dengan takdir taubat, iman, dan amal sholih. Inilah imbangan takdir. Tuhan pemilik dua tempat adalah satu, kebijaksanaan-Nya satu, yang sebagian tidak mengurangi dan tidak membatalkan yang lain. Permasalahan yang paling utama adalah memelihara takdir dengan sebaik-baiknya. Allah adalah pemberi petunjuk dan pertolongan.

Yang paling utama dalam mengkaji takdir ini adalah dengan mengkaji al-Qur’an, sebab al-Qur’an memberikan landasan yang cukup mendasar dengan berbagai sudut pandang mengenai takdir. Di dalam al-Qur’an terdapat penjelasan mengenai penyebab keburukan maupun kebaikan yang terperinci dan jelas. Kajian berikutnya ditunjukkan kepada sunnah, karena sunnah adalah pendamping al-Qur’an. Ia bagaikan wahyu kedua. Oleh karena itu, bila diperhatikan, dua pedoman itu sudah mencukupi. Kedua sumber hukum itulah yang akan menunjukkan kebaikan dan keburukan takdir serta penyebabnya. Dengan kata lain, takdir dapat dilihat dengan jelas.

Selain itu, bila memahami berita umat terdahulu, janji pahala, dan siksa dari Allah Ta’ala bagi umat yang taat maupun yang mendustakan-Nya, anda akan menjumpainya sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah. Anda akan mendapatkan secara rinci semua yang dikabarkan dan dijanjikan oleh Allah. Selain itu, anda akan mendapati ayat-ayat Allah dari segala penjuru alam menunjukkan kebenaran al-Qur’an, Rasulullah, dan janji-Nya. Bukan hal yang mustahil apabila sejarah merupakan perincian dari bagian-bagian yang diberitahukan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya dengan segala sebab-musababnya, baik yang buruk maupun yang baik.

Demikian bahasan kali ini mengenai takdir, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshowwab. (abdullahahmad)

 

(Diangkat dari kitab Terapi Penyakit Hati, Ibnul Qayyim al-Jauzi, penerbit Qisthi press)

Share the Post: